Serang, Lensaperistiwa.id – tren penyalahgunaan obat keras yang banyak melibatkan anak muda, terutama remaja, yang mengonsumsi obat keras untuk efek nge-fly atau bahkan halusinasi, menjadi catatan penting Balai BPOM di Kota Serang Provinsi Banten.
Hasilnya, kota Tangerang dan Kota Serang tercatat sebagai daerah dengan kasus penyalahgunaan obat keras untuk nge-fly terbanyak di Provinsi Banten, Selama tahun 2024.
Dari data yang dihimpun Balai BPOM di Serang, terdapat 102 kasus di Kota Tangerang dan 90 kasus di Kota Serang.
Kepala Balai BPOM di Serang, Mojaza Sirait, menyebutkan angka ini mencerminkan tingginya tingkat peredaran dan penyalahgunaan obat keras di dua kota tersebut.
“Sampai saat ini, ada 102 permintaan sampel untuk penyalahgunaan obat keras Kota Tangerang, dan memegang rekor terbanyak, kemudian diikuti Kota Serang dengan 90 kasus,” ujar Mojaza Sirait pada Senin, 30 Desember 2024.
Selain dua kota tersebut, Kabupaten Serang dan Kota Tangerang Selatan juga tercatat tinggi dengan masing-masing 76 dan 80 kasus.
Sedangkan Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kota Cilegon memiliki angka yang lebih rendah, yaitu 39, 21, 15, dan 6 kasus, masing-masing.
Mojaza mengungkapkan bahwa meski terjadi penurunan jumlah kasus, namun penyalahgunaan obat keras tetap menjadi masalah serius di wilayah Banten.
“Jumlahnya memang menurun, namun tidak signifikan. Ini masih tinggi dan kami yakin ini hanya sebagian dari yang ada,” ujar Mojaza, yang kerap disapa Moses.
Selain itu, pelaku sering menggunakan media sosial (medsos) dan toko-toko untuk menjual obat-obatan ilegal seperti tramadol dan hexymer.
“Di Cilegon, ada toko yang beromzet hingga Rp 20 juta sehari. Obat-obatan ini diperjualbelikan tanpa pengawasan yang ketat,” kata Mojaza.
Dampak jangka panjang dari penyalahgunaan obat keras dapat merusak saraf pusat, hati, dan ginjal, serta menimbulkan ketergantungan dan perubahan perilaku mental.
Pihak Balai BPOM, lanjut Mojaza, telah mengambil tindakan tegas terhadap pelaku penyalahgunaan obat keras. Para pelaku dijerat dengan Pasal 435 Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara dan denda hingga Rp 5 miliar. (*)
Comment