BeritaBerita InternasionalKriminalPERISTIWA

RUU Penyiaran Dinilai Berangus Kebebasan Pers

×

RUU Penyiaran Dinilai Berangus Kebebasan Pers

Sebarkan artikel ini

Baca Juga :

 

Dalam draf RUU Penyiaran terbaru yang diterima Tirto, pada Pasal 50 B ayat 2 huruf (c), disebut penayangan eksklusif jurnalistik investigasi termasuk dalam larangan Standar Isi Siaran (SIS). Adapun dalam Pasal 42 ayat 2 sengketa jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai aturan undang-undang, dan dalam Pasal 51 huruf E sengketa hasil keputusan KPI bisa diselesaikan lewat pengadilan.

 

Salah satu pendiri Yayasan Pantau dan pengajar jurnalisme, Andreas Harsono, menilai, jurnalisme investigasi memiliki peranan dalam memantau kekuasaan. Media yang bermutu, kata dia, tentu hendak menjalankan fungsi jurnalisme tersebut.

 

Andreas menekankan, masyarakat memerlukan jurnalisme bermutu yang salah satunya disajikan lewat investigasi jurnalistik. Menurut dia, semakin bermutu jurnalisme yang hadir, maka semakin bermutu pula masyarakat di suatu negara.

 

“Jadi ia [investigasi jurnalistik] tentu tak perlu dilarang, bila dilarang buat televisi misalnya, ia akan merugikan masyarakat,” kata Andreas seperti dikutip dari Tirto, Senin (13/5/2024).

 

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menyampaikan, usul pelarangan penayangan jurnalistik investigasi karena dikhawatirkan mempengaruhi opini publik terhadap proses penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum. Dia berdalih, tidak ada maksud dari DPR untuk mengekang kebebasan pers, pasal-pasal dalam RUU Penyiaran pun disebut belum mencapai kesepakatan fraksi-fraksi.

 

“Jangan sampai proses hukum yang dilakukan aparat terpengaruh konten jurnalisme investigasi,” kata Hasanuddin Senin (13/5/2024).

 

Andreas Harsono memandang sebaliknya, karya jurnalistik investigasi justru dapat membantu pekerjaan aparat penegak hukum. Dia menjelaskan, pekerjaan wartawan investigasi bisa saling melengkapi dengan tugas polisi atau jaksa.

 

Liputan investigatif menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism dibagi tiga macam. Meliputi original investigation (murni kerja wartawan), investigasi sebagai follow up dari investigasi polisi, serta interpretative investigation (memakai data besar).

 

“Jadi kerja wartawan dan polisi, saya kira, saling melengkapi,” ujar Andreas.

 

Senada dengan Andreas, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Ade Wahyudin, memandang, alasan bahwa jurnalistik investigasi mengganggu penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum sebagai hal yang lucu. Pasalnya, keduanya memiliki mandat dan fungsi masing-masing dan tidak saling berbenturan.

 

“Secara mandat berbeda. Polisi [diatur] berdasarkan UU Kepolisian dan pers berdasarkan UU Pers. Keduanya memiliki level setara, dan tidak seharusnya menegasikan,” kata Ade.

 

Dia juga menyatakan, RUU Penyiaran bila melarang jurnalistik investigasi, maka sama saja membatasi kebebasan pers yang dijamin UU Pers. Ade mendesak DPR melakukan evaluasi terhadap draf RUU Penyiaran dengan mencabut pasal yang bertentangan dengan UU Pers. Selain itu, harus membuka partisipasi publik untuk memberikan masukan-masukan terhadap penyusunan RUU Penyiaran.

 

“Untuk media penyiaran, mereka punya spesifik kode etik. Jadi sangat mungkin KPI ada mekanisme sengketa, namun juga hal ini penting diharmonisasi dengan UU Pers,” ucap Ade. (*/Bersambung)

Comment