Scroll untuk baca artikel
LAMPUNG

Catatan SMSI 2024: Berpikir Kritis Untuk Menunjang Jurnalisme Berkualitas

×

Catatan SMSI 2024: Berpikir Kritis Untuk Menunjang Jurnalisme Berkualitas

Sebarkan artikel ini

Konstitusi yang memperkuat kebebasan pers itu disambut gembira oleh kalangan editor dan penerbit di Amerika Serikat.

Gaungnya terdengar hingga seluruh dunia, termasuk di bumi Nusantara. Meskipun demikian, perkembangan kebebasan pers secara global masih menghadapi tantangan dan hambatan.

Kini kebebasan pers dilaksanakan oleh media berskala luas, berbagai platform (cetak, online, radio, dan televisi).

Kenapa kini masih ada wartawan takut? Takut berpikir bebas, takut berpikir kritis?

Perlu berpikir ulang menekuni profesi wartawan, kalau pikirannya masih terbelenggu oleh berbagai hal yang membuat tidak mampu berpikir kritis.

Berpikir Kritis dan Skeptis

Berpikir kritis bertumpu pada sikap yang meragukan terhadap segala hal, menyikapi dengan skeptis terhadap teks, baik pernyataan lisan, tertulis, atau simbol-simbol yang dirancang untuk menyampaikan informasi.

Sikap skeptis atau meragukan menjadi pangkal untuk mencari kebenaran. Kita ingat apa yang dikatakan oleh Rene Descartes (1596- 1650), filsuf Perancis yang menjadi bapak filsafat modern.

Ia mengatakan pernyataan filosofis yang sangat terkenal hingga saat ini, “cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada, atau dalam Bahasa Inggrisnya “I think, therefore I am).

Pernyataan filosofis itu dapat ditemukan dalam bukunya Discourse on the Method (1637), dan Principles of Philosophy (1644).

Cogito, ergo sum, mengajarkan untuk selalu meragukan semua hal di segala bidang, dan selanjutnya berpikir secara kritis dan logis untuk mencari kebenaran melalui berbagai sisi.

Selama informasi masih diragukan, wartawan tidak boleh menjadikannya sebagai bahan berita. Kalau masih ragu, tinggalkan (doubt, leave it).

Wartawan dituntut mencari kebenaran informasi melalui daya pikir kritis, melihat dan menggali informasi dari berbagai sisi. Mulai dari melihat lokasi kejadian/pengamatan lapangan sampai wawancara dengan berbagai pihak yang berkompeten.

Untuk mendapatkan informasi yang benar, wartawan harus detil dan berpikir kritis dalam melakukan wawancara.

Wartawan selalu mengejar penjelasan sumber yang belum jelas dan masuk akal. Pertanyaan “mengapa (why)” harus sering diajukan sebagai pertanyaan, selain “apa, kapan, di mana, siapa, dan bagaimana”.

Kesannya wartawan yang berpikir kritis itu menjadi cerewet.

“Wartawan itu cerewet, pengecam, penasihat, pengawas, penguasa dan guru bangsa. Empat surat kabar musuh lebih aku takuti daripada seribu bayonet” demikian kata Napoleon Bonaparte yang tersohor dan dikutip di mana-mana.

Napoleon (1769- 1821), sang kaisar dan komandan militer Perancis menggambarkan wartawan sebagai sosok yang cerewet.

Kecerewetan itu pantulan dari pikiran kritis. Bukan itu bukan ini, tapi yang lain, yang benar. Pikiran kritis digunakan untuk menggali informasi yang benar.

Kebenaran yang diharapkan sesuai nalar sehatnya, bukan kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa atau orang lain yang punya kepentingan.

Kebenaran yang dipaksakan oleh penguasa itu seperti yang dipraktikkan dalam kehidupan bermedia di zaman otoritarian awal abad 15 ketika Johannes Gutenberg baru memperkenalkan mesin cetak untuk media di Eropa.

Setelah otoritarian yang menjadikan media sebagai corong penguasa tumbang karena tidak sesuai demokrasi, maka hiduplah masa libertarian.

Bukan Manusia Pasif

Dalam libertarian, manusia tidak lagi dipandang pasif dalam menerima kebenaran. Kebenaran tidak hanya datang dari satu arah, yakni penguasa. Tetapi manusia sebagai sosok rasional berhak mencari kebenaran. Bisa membedakan mana benar dan mana yang tidak.

“Peran media adalah membantu pencarian kebenaran, menolong individu mencari kebenaran. Oleh karena itu, dalam sistem libertarian media bukanlah bagian dari pemerintah, melainkan independen, otonom, dan bebas untuk mengekspresikan gagasan meskipun gagasan tersebut menyakitkan, tanpa merasa takut adanya campur tangan pemerintah,” (Dedy Djamaluddin Malik, Jalaluddin Rakhmat, dan Mohammad Shoelhi (Editor), Komunikasi Internasional, PT Remaja Rosdakarya, 1993).

Sekarang penguasa tidak bisa memaksakan kebenaran versinya sendiri. Kita tahu apa yang terjadi ketika saat itu (menjelang pemilihan presiden), Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pernyataan bahwa presiden boleh berkampanye dan berpihak di Pemilihan Umum (Pemilu).

Pernyataan itu disampaikan oleh Jokowi hari Rabu, 24/1/2023 ketika ditanya wartawan seputar kampanye. Begitu pernyataan Jokowi tersebar di media massa dan media sosial, langsung mendapat reaksi media yang bernada mengkritisi. Pernyataan Jokowi dianggap kurang tepat dan tidak netral.

Media pers pun membantu mencari kebenaran secara kritis dengan mewancarai cendekiawan dan orang-orang yang paham soal undang-undang Pemilu untuk memberi pencerahan pada masyarakat yang sedang bingung dengan pernyataan presiden.

Ternyata yang bereaksi terhadap pernyataan Jokowi, bukan hanya pers, tetapi individu-individu dalam media sosial pun memberi penilaian.
Banyak netizen yang menafsirkan Jokowi akan bertindak semau-maunya dalam Pemilu 2024, karena putranya, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden, berpasangan dengan calon presiden Prabowo Subianto.

Jokowi pun kemudian menegaskan, pernyataannya bahwa presiden dan wakil presiden berhak berkampanye sebatas menjelaskan ketentuan yang ada di undang-undang Pemilu. Presiden meminta hal itu tidak diinterpretasikan atau ditarik ke mana-mana (Harian Kompas, 27/1/2024).

Demikianlah kebebasan berpendapat sekarang, kebebasan pers di era 4.0, libertarian yang juga ditandai dengan sistem penyebaran berita menggunakan internet dan bahkan memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Namun demikian, libertarian di Indonesia dilapisi dengan tanggung jawab sosial yang ditandai dengan kode etik jurnalistik dan undang-undang tentang pers.
Wartawan harus merdeka, independen, tanpa sensor seperti yang disebut dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sebagai bentuk rasa tanggung jawab sosial, wartawan Indonesia wajib mentaati kode etik jurnalistik (KEJ) dan pedoman-pedoman pemberitaan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Terakhir telah disempurnakan dan disahkan pada 16 November 2023 oleh Ketua Dewan Pers Dr Ninik Rahayu, SH, M.S.

Pedoman-pedoman pemberitaan itu adalah Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, Pedoman Pemberitaan Media Siber, Pedoman Pemberitaan Keberagaman, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk radio dan televisi, Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas, Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan, Pedoman hak Jawab, Penerapan hak tolak dan tanggung jawab hukum dalam perkara jurnalistik.

Kebebasan pun kemudian diatur dengan pedoman-pedoman tersebut demi kebaikan bersama dan tanggung jawab sosial.

Dalam KEJ wartawan tidak boleh berbohong, menerima suap dari sumber berita dalam bentuk apapun yang dapat mempengaruhi independensi.

Pers dituntut mampu mem-verifikasi kebenaran informasi dengan menggunakan daya nalar kritisnya, sebelum menjadikan informasi sebagai berita media massa.

(Mohammad Nasir adalah Wakil Ketua Umum SMSI Pusat Bidang Pendidikan, pernah bekerja sebagai wartawan Harian Kompas 1989- 2018)