Ia menjelaskan bagaimana deskripsi kain dalam kutipan naskah untuk menggambarkan busana tokoh penting, seperti dalam Serat Centini Kadipaten (1815).
Salah satu kutipan menggambarkan keindahan batik dan kain tradisional yang melekat dalam aturan busana pernikahan bangsawan.
“Sami basahan sedaya, dodote mawarni-warni, bathik Modang Semukiran miwah sembagi bang kuning” yang berarti “semuanya memakai busana basahan kain dodotnya beraneka ragam. Batik Modang Semukiran dan kain sembagi merah kuning.”
Saktimulyaa menambahkan bahwa setiap elemen wastra—mulai dari pemilihan kain, alat yang digunakan, hingga motif—memiliki makna dan tujuan tertentu.
“Makna-makna tersebut menjadi cerminan nilai budaya dan estetika lokal,” ungkap dosen UGM yang juga seorang sastrawan Kadipaten Pakualaman ini.
Nanang Asfarinal melengkapi dengan pembahasan mengenai keunikan corak wastra dari berbagai daerah di Nusantara. Ia menekankan bahwa setiap corak memiliki roh dan makna simbolis yang memperkaya keindahan dan nilai filosofi pemakainya.
*Wastra sebagai Diplomasi dan Tantangan Pelestarian*
Selain sebagai warisan budaya, wastra juga dipandang sebagai alat diplomasi.
“Promosi budaya melalui wastra dapat menjadi simbol persahabatan antarnegara,” kata Asfarinal. Namun, ia juga mengungkapkan keprihatinan terkait beberapa warisan wastra yang mulai punah akibat tantangan ekonomi dan ekologis, serta kurangnya minat dari generasi muda.
Salah satu isu yang disoroti adalah pengakuan songket sebagai warisan dunia oleh Malaysia, meskipun asal-usulnya dari Indonesia.
Hal ini menunjukkan pentingnya upaya pengarsipan dan pelestarian wastra agar tetap menjadi identitas budaya bangsa.
Webinar ini menjadi bagian dari langkah menuju Jaringan Kota Pusaka Indonesia 2025, yang berupaya memperkuat peran warisan budaya, termasuk wastra, dalam membangun kesadaran dan apresiasi generasi mendatang terhadap nilai-nilai lokal.